Hal tersebut disampaikan oleh Andi Fauziah Astrid, selaku pemateri pada Kegiatan Pekan Raya Jurnalistik, di Lecture Teater (LT) Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Alauddin Makassar, Senin (05/12/2022).
“Materi yang sering diangkat oleh jurnalis, menjadi isu-isu yang kita anggap biasa. Isu-isu yang sifatnya ada anak-anak yang minta sumbangan, selesai. Tapi tidak pada isu bagaimana kemudian menghentikan kebiasaan itu, menghentikan human traficking, menghentikan orang-orang dewasa yang memanfaatkan anak,” ujarnya.
Jurnalisme inklusif terbagi menjadi tiga yakni inklusivitas terhadap perempuan, terhadap anak, dan terhadap difabel. Media punya tanggung jawab besar baik lewat tulisan maupun lewat kebijakan redaksi, namun media sudah mulai mengubah sudut pandang tersebut.
“Baru-baru ini sedang viral kasus anak SMP yang melaporkan orangtuanya gara-gara dimarahi pacaran. Coba kalian lihat bagaimana media menuliskan itu, atau apa yang kalian pikirkan tentang si anak itu. Kurang ajarnya ini anak, masa dia pergi lapor orangtuanya, itu kan yang kita pikirkan. Tapi kita tidak memikirkan kenapa si anak bisa seperti itu,” ungkapnya.
Ketika orang mengangkat sudut pandang anak yang kurang ajar terhadap orang tua, kata Fauziah, maka akan membuat si anak berdiri sendiri. Membuat anak sebagai objek, memaki-maki si anak, dan berempati ke orangtua tanpa pernah berpikir anak berperilaku seperti itu karena siapa.
Terakhir, ia mengatakan Jurnalisme inklusif anak itu penting, karena sering kali media menjadikan anak sebagai objek.
“Membahas jurnalisme inklusif anak itu penting. Karena anak itu mengambil 31,6 persen jumlah orang yang hidup di Indonesia. Artinya 31 persen ini punya ruang yang harus diperhatikan siapa pun itu. Persoalannya, ketika kita mengangkat isu anak, paling seringnya kita mengangkat anak sebagai objek, padahal kita tidak bisa lepaskan posisi orangtua ke anak, ketika berbicara inklusifitas,” ujarnya.
Penulis : Ahmad bilal