SELAYAR, SULSELLIMA.COM – Pelaksanaan Festival Takabonerate 2024 memicu perbincangan hangat, terutama mengenai besaran anggaran yang digunakan untuk membiayai acara tahunan ini. Isu transparansi dan alokasi dana terus mencuat, menyusul kabar simpang siur terkait siapa yang bertanggung jawab atas pendanaan festival tersebut.
Sejumlah pihak sempat saling tuding terkait pembiayaan festival, dan muncul dugaan bahwa sebagian kegiatan dibiayai oleh pihak luar yang tidak tercantum dalam anggaran resmi.
Informasi bocor bahwa total anggaran yang dihabiskan mencapai diduga sekitar Rp 700 juta, namun kritik bermunculan, menilai acara yang diselenggarakan tidak sebanding dengan dana yang digelontorkan.
Berbagai kalangan menilai Festival Takabonerate tidak memenuhi harapan, baik dari segi kualitas acara maupun dampak ekonominya terhadap daerah. Ketidakpuasan muncul dari warga dan pengamat pariwisata lokal, yang menganggap festival tersebut kurang mendatangkan keuntungan bagi masyarakat setempat.
Salah seorang pengunjung dari Kota Benteng, Andi, mengungkapkan bahwa acara lebih banyak diramaikan oleh pejabat pemerintah daripada wisatawan luar.
“Yang ramai hanya orang Benteng saja, sebagian besar tamu yang menginap adalah pejabat pemkab,” ujar Andi, Sabtu (12/10/2024).
Menurutnya, banyak rumah warga yang disiapkan sebagai homestay tidak terpakai, dan tamu dari luar daerah pun langsung pulang setelah pembukaan acara.
Andi juga mengkritik penggunaan dana negara untuk festival yang dianggap tidak menghasilkan dampak nyata bagi pariwisata setempat.
"Kalau hanya ingin mengumpulkan orang banyak, lebih baik adakan rapat OPD di sana, tidak perlu festival," tambahnya.
Hingga kini, Kepala Dinas Pariwisata Selayar, Ichsan Haeruddin, belum memberikan klarifikasi terkait besaran anggaran yang digunakan.
Diketahui bahwa festival ini tidak hanya didanai dari APBD Kabupaten, tetapi juga melalui proposal yang diajukan ke Bank Indonesia, Bank Sulsel, Bank BRI, dan beberapa sponsor lainnya. Selain itu, acara ini didukung oleh Dinas Pariwisata Provinsi Sulsel dan Balai Taman Nasional Takabonerate.
Sementara itu, kritik juga datang dari beberapa pihak yang menilai bahwa festival ini tidak memberikan keuntungan ekonomi bagi daerah. Meski sempat ada kunjungan dari kapal pesiar wisata yang singgah di Jinato, penghasilan dari wisatawan ini tidak masuk sebagai pendapatan daerah, melainkan dibayarkan kepada Balai Taman Nasional.
“Pariwisata itu seharusnya menjadi industri yang menguntungkan daerah, bukan malah membebani anggaran,” ujar Andi, menutup perbincangan dengan seruan evaluasi terhadap penyelenggaraan Festival Takabonerate.***